TIDAK ADA YANG SALAH DENGAN INDONESIA


Screenshot dari postingan curhat Melanie Subono ini beredar di media sosial, dan saya jadi gemes membacanya.





rahadi widodo, tidak ada yang salah dengan indonesia

Eyang, apa yang salah sama Indonesia?


Mbak'e... tidak ada yang salah dengan Indonesia, sampeyan aja yang baper.
Sebentar, menanggapi curhatan mbak Melanie ini saya mau cerita dulu kejadian lama, mungkin bisa jadi ilustrasi.



Waktu masih SMA, saya pernah jalan-jalan (jalan kaki beneran) ala hippies dari jombang ke batu terus ke pandaan balik ke jombang, bersama teman saya namanya AF (maaf pakai inisial, kasian soalnya kalau doi sampai terkenal).


AF ini anak NU banget, kalau saya kan biasa-biasa saja. Alim, rajin ngaji dia, beda sama saya. Rajin tahlilan juga. Saya sebut ini karena sekarang NU kan dikenal toleran sama non muslim katanya.




Dalam perjalanan saya sempat mengajak AF untuk mampir bermalam di rumah paman saya. Lumayan daripada tidur kedinginan di tenda lagi, dan untuk perbaikan gizilah setelah beberapa hari makan ala kadarnya.


Saya sudah kasih tahu bahwa paman saya ini non muslim, dan AF setuju saja. Ga masalah katanya.


Tapi ketika kami duduk di meja makan dan tante saya menghidangkan banyak masakan, air muka AF berubah. Tampak ia ragu hendak makan. "Masih kenyang," alasannya. Padahal saya tahu ia lapar.


Akhirnya dia hanya makan kue, krupuk (yang digoreng dgn pasir, bukan minyak), dan sayuran rebusan. Tidak mau menyentuh daging serta apapun yg mungkin digoreng dengan minyak.


"Takut haram, bro," kata AF kemudian setelah itu.


Saya sudah menjelaskan bahwa yang memasak makanan di rumah paman saya adalah pembantunya, yang muslim. Dagingnya pun beli di pasar tradisional seperti warga lain pada umumnya. Dan keluarga paman saya tidak memasak babi di rumahnya.


Tapi itulah, AF memilih untuk bersikap hati-hati dengan agamanya. Dan saya hormati itu.
AF tidak kenal secara pribadi dengan paman saya, beda dengan saya. Dia "tidak percaya" tapi bukan berarti "tidak menghormati".


Dalam perjalanan selanjutnya sepulang dari rumah paman, AF pernah berkomentar tentang keluarga paman. "Mereka baik-baik, ya."


AF menyebut anak-anak paman yang membantu menyiapkan air ketika kami hendak berwudhu serta menyediakan sendal bagus untuk kami pakai pergi ke masjid di dekat rumah.


Itulah AF, ia sama sekali tidak membenci non muslim. Hanya ia memang enggan memakan hidangan mereka, itu saja.


Itulah yang perlu kita mengerti dalam kasus yang dicurhatkan oleh mbak Melanie itu.
Mbak'e tidak salah. Hanya 'bermaksud baik' dengan ikut membantu membagikan nasi kotak. Tapi kemudian salah paham dan jadi baper, lalu berlebihan membawa-bawa nama INDONESIA.


Kalau sampeyan boleh baper, maka pahamilah bahwa diantara ibu-ibu pengajian itu bisa juga ada yang level bapernya menyamai sampeyan.


Ibu yang baper itu, melihat seorang non muslim membagikan hidangan, pikirannya bisa macam-macam. Eh, jadi ini hidangan dari non muslim ya? Boleh nggak saya makan? Haram nggak? Ini siapa yang masak? Yang non muslim ikutan masak nggak?


Pandangan ibu-ibu itu bisa saja tidak tepat, tapi tidak bisa begitu saja dinilai atau dihakimi dengan fatwa ustadz atau ahli agama.


Mereka bisa jadi saat itu sedang shock saja karena tiba-tiba ada seorang non muslim membagikan hidangan pada mereka, lalu mereka kebingungan.


Rasanya tak mungkin juga mereka akan langsung bertanya dengan vulgar, "Ini makanannya mbak Melanie yang masak, bukan? Masaknya dipisahin sama daging babi, nggak?"


Justru kalau ditanyain to the point begitu bisa-bisa orangnya malah tersinggung 10x lipat.
Kita tidak ada yang tahu apa yang ada dalam benak ibu-ibu yang tidak jadi mengambil hidangan makanan dari mbak Melanie. Hanya Tuhan yang tahu.


Lebih bermanfaat bila kita berprasangka baik saja, bahwa mereka hanya kebetulan sedang shock dan kebingungan saja, hingga bersikap demikian.


Mereka hanya enggan mengambil hidangan saja, kan ya? Tidak lebih dari itu?
Tidak memaki-maki dan mengusir?


Hanya sikap satu-dua atau beberapa ibu-ibu, yang itu pun belum tentu karena mereka benci kepada sampeyan.... tapi mengapa harus diboyong masalah kecil ini ke media sosial dengan narasi bombastis: EYANG, APA YANG SALAH SAMA INDONESIA?
INDONESIA loh mbak.


Dua ratus juta penduduk. Ratusan juta muslim. Puluhan juta nasrani. Jutaan hindu. Ratusan ribu budha. Dan yang lainnya.


Memposting curhatan baper sampeyan ke media sosial tak bermanfaat apa-apa selain memecah-belah warga bangsa yang selama ini rukun-rukun saja. Bahkan HINGGA HARI INI masih rukun-rukun saja.


Tidak ada yang salah dengan Indonesia. HINGGA HARI INI.


Besok adalah hari Jumat, dan besok kami jutaan kaum muslimin Indonesia masih harus berangkat kerja. Padahal besok adalah hari raya kami. Hari ibadah kami.


Saya ini, tiap hari jumat seringkali harus terpontal-pontal pergi ke masjid untuk sholat jumat gara-gara masih ribet pelayanan pasien yang tidak libur di hari jumat. Tidak jarang ada orang yang marah-marah (minimal bersungut-sungut) ketika pelayanan di poliklinik di-break untuk sholat jumat. Aneh, memangnya dokter tidak punya hak azasi untuk beribadah?


Kalau umat Islam memaksakan kekuatannya sebagai mayoritas, maka hari libur kerja akan kami jadikan hari Jumat, bukan hari Minggu.



Tapi kan tidak. Umat Islam Indonesia ikhlas saja menerima hari Minggu sebagai hari libur, seperti negara-negara kristen di Eropa.


Itu hanya salah satu contoh BETAPA SAYANGNYA umat Islam di Indonesia terhadap umat kristen sebagai saudara sebangsa.


Sehari-hari diantara kita umat beragama di seluruh Indonesia tidak ada masalah. Di kantor, di pabrik, di perumahan komplek, di pasar, di mana-mana. Kita rukun, kita bekerja bersama, kita bekerjasama, kita berbisnis, kita bersenang-senang bersama. Biasa saja. Semua orang senang. Sampeyan sendiri yang baper.

Tidak ada masalah dengan Indonesia.
Bahwa beberapa orang ada masalah. Iya.
Itu masalah orang itu.
Masalah dia sendiri.
Jangan ngajak-ngajak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ENZO YA, BUKAN SI ....

BALADA KADAL GURUN